Logo Design by FlamingText.com
Logo Design by FlamingText.com

GERAKAN KEPANDUAN

Sungguh Berat Jadi Kader Muhammadiyah. Ragu dan Bimbang Lebih Baik Pulang "JENDRAL SUDIRMAN"

HIZBUL WATHAN KWARDA ASAHAN

Sanggup mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan negara Republik Indonesia, yang telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, sampai titik darah penghabisan. - Jogjakarta, 25 Mei 1946. (JENDRAL SUDIRMAN)

SANG PENCERAH

Robek-robeklah badanku, potong-potonglah jasad ini, tetapi jiwaku dilindungi benteng merah putih, akan tetap hidup, tetap menuntut bela, siapapun lawan yang aku hadapi.- Jogjakarta, 17 Agustus 1948 (JENDRAL SUDIRMAN)

ROBERT STEPHEN SON SMITH BADEN POWELL

Bervariasi adalah ide-ide tentang apa yang merupakan 'sukses,' misalnya uang, posisi, kekuasaan, prestasi, penghargaan, dan sejenisnya. Tapi ini tidak terbuka untuk setiap mannor apakah mereka membawa apa yang sukses nyata, yaitu kebahagiaan. (Robert Baden-Powell)

PANDUKU

Hal yang paling bernilai sementara adalah mencoba untuk menempatkan kebahagiaan ke dalam kehidupan orang lain. Asli: The most worth-while thing is to try to put happiness into the lives of others. Sumber: Letter (September 1940) "BADEN POWELL"

Tuesday, 1 October 2019

HW Sudah ada Sebelum Pramuka I Sejarah Pramuka Dunia dan Indonesia (Sejarah Tua 1907)


Pramuka merupakan organisasi pendidikan non-formal yang mengenalkan dan mengajarkan pendidikan kepanduan di Indonesia. 

Organisasi ini telah dikenal secara luas di seluruh pelosok nusantara. Bahkan, pendidikan kepanduan melalui Pramuka telah diperkenalkan sejak usia awal sekolah, yakni Sekolah Dasar. 

Seiring bertambah tingginya tingkat pendidikan yang ditempuh, Pramuka terus hadir mengiringi. 

Pramuka merupakan singkatan dari praja muda karana. Artinya secara harfiah adalah rakyat muda yang suka berkarya. 

Hal ini sangat sesuai dengan prinsip dasar kepramukaan yang memiliki orientasi dalam pembentukan watak, akhlak dan budi pekerti luhur. 

Lalu bagaimanakah sejarah Pramuka di Indonesia? Bagaimana prosesnya? 

Sejarah Pramuka Dunia
Baden Powell

Membahas sejarah kepramukaan di Indonesia tak bisa lepas dari gagasan Baden Powell untuk mendirikan Boy Scout (Kepanduan). 

Sosok inilah yang kemudian dikenal sebagai Bapak Pandu Sedunia alias Chief Scout of the World. Lord Robert Baden Powell of Gilwell lahir di London, Inggris 

pada 22 Februari 1857. Ketika lahir namanya adalah Robert Stephenson Smyth Powell. 

Ayahnya seorang professor Geometri di Universitas Oxford telah meninggal sejak Baden Powell masih kecil. Ia mendapatkan pendidikan karakter dan berbagai keterampilan dari Ibu dan saudara-saudaranya. 

Menginjak usia dewasa Baden Powell bergabung dengan militer Inggris. Ia menuliskan pengalamannya dan menerbitkan buku berjudul Aids to Scouting pada tahun 1899. 

Karena antusiasme pembaca pada buku pertamanya, Baden Powell berencana menulis buku baru. 

Untuk menggali ide yang tertuang dalam bukunya, Baden Powell mengadakan sebuah acara perkemahan bersama 22 remaja lelaki di Brownsea Island, Inggris. 

Perkemahan tersebut berlangsung selama 8 hari sejak 25 Juli hingga 2 Agustus 1907. 

Setahun setelahnya, yakni di tahun 1908 Baden Powell menerbitkan buku Scouting for Boys yang berarti Pramuka untuk Anak Laki-laki. 

Dibantu adik perempuannya bernama Agnes, ia membentuk pramuka untuk perempuan dengan nama Girls Guides di tahun 1912. 

Di tahun 1916 didirikan kelompok pramuka siaga dengan nama CUB (Anak Serigala). 

Dua tahun setelahnya, yakni di 1918, Baden Powell membentuk Rover Scout unruk pemuda berusia 17 tahun. 

Sejarah Pramuka di Indonesia

Sejarah Pramuka di Indonesia tidaklah mulus dan harus menghadapi pasang surut dan lika-liku yang panjang. 

Hal ini tak begitu mengherankan lantaran pada masa itu Indonesia masih berada pada masa penjajahan. 

Tentu saja kebebasan dalam berorganisasi tak bisa dilaksanakan sebebas sekarang. Untuk lebih memahaminya, pelajari dengan seksama uraian singkat berikut; 

1. Pramuka selama masa penjajahan Belanda

Gerakan Pramuka telah masuk ke Indonesia sejak jaman kolonial dan dibawa oleh bangsa Belanda. Pada waktu itu, Belanda mendirikan sebuah perkumpulan bernama Nederland Indische Padvinders Vereeniging alias NIPV. 

Jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia maknanya Persatuan Pandu-pandu Hindia Belanda. 

Beberapa tokoh nasional melihat pentingnya pembentukan karakter melalui organisasi. 

Mereka lantas mendirikan organisasi sendiri seperti SIAP (Sarekat Islam Afdeling Padvindery), HW (Hisbul Wathon), JPO (Javanese Padvinders Organizatie), NATIPIJ (Nationale Islamitsche Padvindery), serta JJP (Jong Java Padvindery). 

Kelompok ini akhirnya dibubarkan lantaran Belanda menentang penggunaan Padvinery. 

Untuk menyiasatinya, K.H. Agus Salim mengganti istilah Padvinery menjadi Pandu atau Kepanduan. 

Setelah peristiwa Sumpah Pemuda organisasi kepanduan mulai meleburkan diri dan berubah nama menjadi BPPPKI (Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia) pada tahun 1938. 

BPPKI berinisiatif untuk menyelenggarakan All Indonesia Jamboree namun terus mendapat halangan. 

Sebagai gantinya kegiatan yang telah direncakan tersebut diganti namanya menjadi PERKINO (perkemahan Kepanduan Indonesia Oemoem) yang diselenggarakan di Yogyakarta. 

PERKINO inilah ynag menjadi cikal bakal kegiatan Jambore di masa sekarang. 

2. Pramuka selama masa penjajahan Jepang 

Pada masa pendudukan Jepang, tak banyak pergerakan yang bisa dilakukan. Hal ini karena Jepang terus merongrong Indonesia untuk membantunya menyerang Belanda. 

Banyak tokoh kepemudaan yang ditarik untuk bergabung Keibondan, PETA dan Seinendan di masa ini. Jepang juga melakukan pelarangan segala kegiatan partai dan organisasi di Indonesia. 

Meski terus mendapat pencekalan lantaran dianggap organisasi berbahaya karena meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan Indonesia, BPPKI terus bertahan di tengah goncangan. 

Karena semangat yang tak pernah surut, Kepanduan Indonesia berhasil mengadakan PERKINO II pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia ini. 

3. Pramuka pada Masa Kemerdekaan 

Pada tanggal 28 Desember 1945, tak berselang lama setelah proklamasi dikumandangkan, didirikanlah Organisasi Pandu Rakyat Indonesia. 

Pendirian ini bertujuan untuk menetapkan wadah kepanduan nasional akan bernaung dan berlangsung di Kota Solo. 

Hal ini dikuatkan dengan ketentuan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Nomor 93/Bhg.A, tertanggal 1 Februari 1947. 

Karena banyaknya organisasi kepanduan yang bermunculan, keputusan tersebut dicabut dan digantikan dengan Keputusan Nomor 23441/Kab, tertanggal 6 September 1951. 

Sepuluh hari setelahnya dibentuklah Ikatan Pandu Indonesia (IPINDO). IPINDO kemudian menjadi anggota dalam International Conference mewakili Indonesia pada 1953. 

Setahun setelahnya bermunculan dua organisasi baru yakni POPPINDO (Persaudaraan Organisasi Pandu Putri Indonesia) dan PKPI (Kepanduan Putri Indonesia). 

Keduanya lalu melebur menjadi sebuah organisasi bernama PERKINDO (Persatuan Kepanduan Indonesia). 

Sejarah Penggunaan Nama Pramuka

Sepanjang tahun 1950 hingga 1960an tak kurang dari 100 organisasi kepanduan tercatat dalam tiga federasi utama, yakni IPINDO, POPPINDO dan PKPI. 

Kesemuanya lalu menjadi satu di bawah naungan PERKINDO. Namun, adanya kon ik kepentingan yang terjadi di PERKINDO dimanfaatkan oleh komunis yang ingin menjadikannya gerakan Pioner Muda. 

Meski terjadi kon ik internal, namun semangat Pancasila yang membara dalam PERKINDO membuat anggotanya menentang keinginan tersebut. 

Untuk mengatasinya, Presiden Soekarno mengeluarkan Keppres No. 238 tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka. 

Keppres tersebut adalah buah hasil pemikiran dan diskusi yang mendalam dan tak terlepas dari bantuan Perdana Menteri yang tengah menjabat pada masa tersebut, yakni Ir. Juanda. 

Beliau saat itu menggantikan tugas Presiden Soekarno yang tengah berkunjung ke Jepang. 

Keberadaan Keppres tersebut mengatur pembubaran semua organisasi kepanduan di Indonesia dan menggantinya dalam organisasi bernama Gerakan Pramuka dengan simbol tunas kelapa. 

Sejak itulah Pramuka menjadi satu-satunya organisasi kepanduan yang mendapatkan izin dan wewenang untuk menyelenggarakan pendidikan kepramukaan di Indonesia. 

Ternyata sejarah kepramukaan di Indonesia rumit dan penuh lika-liku sekali ya. Karenanya, mari menghargai sejarah Pramuka yang berliku ini di manapun Anda berada. 

Karena toh tujuan organisasi ini adalah baik, yakni untuk membentuk karakter dan memberikan pengalaman.

Sunday, 12 May 2019

MUHAMMADIYAH MILIKI TUGAS DAN KEWAJIBAN MENGEMBALIKAN REL MORAL DEMOKRASI INDONESIA


Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah bidang Hukum dan HAM, Busyro Muqoddas, mengatakan, Muhammadiyah memiliki tugas dan kewajiban mengembalikan rel moral demokrasi Indonesia sesuai dengan cita-cita luhur bangsa. Mengingat moralitas publik kehilangan nalar yang lebih mementingkan akal.

Indikator amoralitas publik adalah ditemukannya sikap pragmatis berlebihan dan terjadi masif dan meluas. Sikap tersebut melanda tokoh-tokoh publik, mengakibatkan meluasnya zona nyaman hedonisme dan mencetak generasi baru penerus sikap hedonis.

Konteks kebangsaan, demokrasi amoral menjadikan kekuasaan tanpa makna. Dimana kekuasaan adalah perwujudan nafsu dan syahwat belaka, yang tandus akal budi dan daya nalar politik kerakyatan.

"Gejalanya bisa ditemui di masyarakat, masyarakat kehilangan pengangan dan arah. Sementara arus deras pemerkosaan jiwa independen, mandiri, muru'ah pranata agama dan sosial semakin masif," ungkapnya pada Jum’at (10/5) di Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah (UMY) dalam acara Pengajian Ramadhan 1440 H PP Muhammadiyah.

Perilaku ugal-ugalan para pemimpin atas kekuasaan yang diembannya, mejadikan rakyat atau umat yang dipimpinnya menjadi sengsara. Dalam konteks Indonesia, muslim sebagai mayoritas di negeri ini lebih banyak dirugikan. Kerugian muslim atas kesemenah-menahan pemimpin terjadi dengan adanya runtutan isu radikal dan terorisme yang dialamatkan kepada simbol-simbol Islam.

Dalam catatan Busyro, runtutan isu yang mendeskriditkan umat Islam telah terjadi sejak 2002, dengan penegakan hukum yang centang-perenang. Serta senyap dari hingar bingar pemberitaan yang seimbang, karena komponen transfer informasi berada dalam kekuasaan penguasa.

Selain itu, tindak korupsi yang secara vulgar dipertontonkan oligarki. Tindakan amoral korupsi yang dilakukan para wakil rakyat menciderai nilai-nilai dasar dan prinsip kebangsaan. Praktik korupsi yang dipertontonkan merupakan hasil dari perselingkuhan antara oligarkhi politik dan bisnis. Kuatnya pasangan haram ini turut memengaruhi kebijakan yang harusnya mengakomodir rakyat secara luas, berganti kebijakan yang mengakomodir hanya kepentingan pasangan haram antara parpol dan pemodal (politik cukong).

"Perselingkuhan dua oligarki ini kemudian menghasilkan sejumlah undang-undang dan kebijakan publik hingga peraturan daerah (Perda) yang mengandung ciri pembunuhan demokrasi,” tegas Busyro.

Sumber: muhammadiyah.id

HIZBUL WATHAN HARUS MELAHIRKAN KADER IDEOLOGIS PRAKTIS


KaderPandu Hizbul Wathan itu harus siap mematuhi perintah apalagi soal kebaikan. Bahkan Hizbul Wathan begitu melekatnya dengan istilah NTNT “Niat tandang dan niat tandang”, artinya apa yang di niatkan sebagai sebuah kebaikan harus di lakukan dengan sungguh-sungguh.

Hal itu disampaikan Ketua Kwartir Pusat Hizbul Wathan, (Ramanda) Uun Harun Syamsudin dalam membuka Pengajian Ramadhan 1440 H Kwartir Pusat Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan yang berlansung di BLK Panti Asuhan ‘Aisyiyah Yogyakarta, pada Sabtu (10/5).

Dalam pengajian yang mengsung tema “Penguatan Kompetensi Pandu Hizbul Wathan untuk Gerakan Pencerahan” ini, Ramanda Uun Harun mengatakan pentingnya kader Hizbul Wathan melahirkan kader ideologis-praktis.

“Agar di Muhammadiyah nantinya tidak terlalu banyak kader pragmatis, maka penting bagi Hizbul Wathan melahirkan kader ideologis-pragmatis,” katanya.

Ramanda Uun Harun menyingung kenapa harus kader bukan aktifis yang melekat pada diri Hizbul Wathan. Menurut perspektifnya bahwa aktifis itu seperti digambarkan kalau ada gula maka ada semut. Tetapi kalau gulanya habis sudah tidak ada lagi semut di situ.

“Maka dari itu, di Pandu Hizbul Wathan memakai istilah yang pas yaitu kader bukan aktifis,” singgungnya.

Ramanda Uun juga mengatakan, agar di Muhammadiyah itu kalau makan tidak kekurangan piring tetapi kalau ada pekerjaan kelebihan canggul. Maka perlunya memperbanyak kader ideologis-praktis bukan kader aktifis dan kader pragmatis.

Hal itu menurutnya sejalan dengan sikap PP Muhammadiyah melalui Surat Keputusan (SK) yang menyebutkan bahwa, Gerakan Pandu Hizbul Wathan adalah salah satu wadah perkaderan yang efektif di Muhammadiyah.

“Karena di Hizbul Wathan inilah berada kader lintas usia dan lintas gender. Bahkan sejak dini di Pandu Athfal pun sudah dikenalkan sejak dini kepanduan hizbul wathan,”katanya.

Ramanda Uun berharap Pengajian Ramadhan 1440 H yang sudah berjalan ke-4 kali di bawah Bidang Al-Islam kemuhammadiyahan Kwartir Pusat Hizbul Wathan bisa menjadi progam bersama sebagai penguatan kompetensi bagi pimpinan kwartir pusat, wilayah dan daerah yang hadir sehingga memberikan pencerahan terutama bagi keberlangsungan kader.

Thursday, 9 May 2019

BAGAIMANA NABI MUHAMMAD MENGHADAPI BERITA HOAX?


Di zaman Rasulullah ada seorang sahabat bernama Harits bin Diror alQudai. Awalnya Harits seorang kafir, suatu saat dia bertemu dengan Rasulullah, didakwah oleh Nabi akhirnya Harits memeluk Islam.


Setelah berislam, Rasulullah meminta pada Harits untuk membayar zakat. Saat itu Harits belum bisa menyanggupi permintaan Nabi, lalu dia meminta diberi kesempatan bertemu dengan kaumnya dan mengajak mereka memeluk Islam kemudian mengumpulkan zakat lalu diserahkan kepada Rasulullah.

Rasulullah menyetujui permintaan Harits, lalu ditentukan waktunya. Singkat cerita, Harits kembali ke kamumnya dan mengajak mereka memeluk Islam lalu Harits mengumpulkan zakat.

Tibalah pada waktu yang disepakati, dibawakan zakat yang telah terkumpul itu untuk bertemu utusan Rasulullah di suatu tempat bernama Iban.

Setibanya Hartis di Iban, ia tidak bertemu utusan Rasulullah. Harits mengira bahwa Nabi marah padanya, lalu dia kembali ke kaumnya dalam keadaan sedih, namun dalam hatinya, dia yakin bahwa Rasulullah tidak mungkin mengingkari janji.

Untuk menghilangkan sakwasangka, maka Harits memutuskan untuk menyerahkan langsung zakat yang telah dikumpulkan itu ke Rasulullah yang saat itu berada di Madinah.

Ternyata Nabi sendiri telah mengutus seorang bernama Walid bin Ukbah untuk bertemu Harits di Iban, namun di tengah perjalanan, Walid khawatir akan keselamatan dirinya, dia takut akan dibunuh oleh Harits, akhirnya Walid memutuskan untuk tidak bertemu dengan Harits, namun dia mengarang cerita bahwa, dia bertemu dengan Harits dan Harits hendak membunuhnya.

Mendengar cerita Walid, Nabi tidak langsung mempercayainya. Nabi kembali mengutus seorang sahabat untuk bertemu dengan Harits dan mengajaknya bertemu langsung dengan Nabi di Madinah.

Ketika dihadapkan dengan Nabi, Harits dipertemukan dengan Walid, lalu Harits mengatakan bahwa dia tidak bertemu dengan Walid di Iban.

Atas kejadian ini Allah kemudian turunkan surat Al Hujurat ayat 6. Ayat ini merupakan peringatan bagi orang beriman agar hendaknya tabayun dulu terhadap informasi yang diterima.

Di zaman Nabi teknologi komunikasi belum secanggih sekarang, oleh sebab itu, setiap kabar yang disampaikan tidak langsung dipercaya oleh Nabi .

Dalam suasana sekarang, di era digital ini, banyak berita yang kita dapat, yang belum tentu kebenarannya. Jangan sampai berita yang kita sebarkan di medsos, malah menimbulkan fitnah.

Di momen bulan Ramadan yang penuh berkah ini, mari agar umat Islam harus menjaga lisan dari perkataan yang tidak baik.

Jangan melakukan tindakan yang bodoh, jangan sampai keteledoran kita, merugikan orang lain.

Puasa adalah pengendalian diri. Tidak hanya meninggalkan makan dan minum semata, tetapi juga menahan diri dari perbuatan yang tidak baik yang dilakukan oleh panca indra manusia.

Tetap bersemangat dalam menyongsong Ramadhan, agar usai dari Ramadhan, diampuni segala dosa-doasnya serta puasa yang telah dilakukan di bulan Ramadhan bisa menjadi tameng diri dari perbuatan tercela di luar Ramadhan nanti.


Sumber: Dari berbagai sumber.

Sunday, 5 May 2019

HISAB DAN ARGUMENTASINYA DALAM PENENTUAN AWAL BULAN



Kata hisab (Arab: al-hisāb) secara etimologi bermakna menghitung. Menurut Ibn Manzhur dalam Lisān al-‘Arab, hisab bermakna beberapa makna yaitu (‘adda), kalkulasi (ahshā) dan mengukur (qaddara). Kata ini dan yang seakar dengannya sangat banyak tertera di dalam Al-Qur’an dengan makna yang berbeda-beda. Beberapa makna itu di antaranya perhitungan (hisab), hari kemudian, batas, dan tanggung jawab, dan lain-lain. Menurut Fuad Abdul Baqi dalam “alMu’jam al-Mufahras li Alfāzh Al-Qur’ān Al-Karīm” disebutkan bahwa kata hisāb tertera di dalam Al-Qur’an sebanyak 25 kali. Hisab yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sebuah metode perhitungan gerak faktual bulan dan matahari untuk menentukan tanggal satu bulan kamariah.

Kerja hisab dalam penentuan awal bulan adalah menghitung posisi (gerak) bulan dan matahari dalam gerak hakikinya, antara lain menghitung terbit dan tenggelam, menghitung terjadinya konjungsi, menghitung posisi bulan (apakah sudah berada di atas ufuk atau belum), menghitung sudut elongasi, menghitung fraksi cahaya bulan, dan lainlain. Perhitungan ini biasanya tertuang dalam rumus-rumus astronomis-matematis yang sudah disederhanakan oleh para ahli dan tertera dalam buku-buku astronomi modern, bahkan saat ini telah diformula dalam bentuk sofware.

Hisab sendiri cenderung bersifat rasional (ta’aqquly) karena terkadang hasilnya tidak dapat dibuktikan secara zahir. Isyarat hisab antara lain terakomodir dalam Qs AlBaqarah [02] ayat 189 dan Qs Yunus [10] ayat 05. Pada dua ayat ini dijelaskan mengenai adanya fase-fase bulan serta perubahannya yang terlihat dari bumi. Perubahan bentuk semu bulan itu dijadikan dasar penentuan waktu oleh umat Islam yang diterjemahkan dalam hari, tanggal, bulan, dan tahun.

Perubahan posisi bulan yang teratur dan konstan itu dapat dihitung (hisab). Sementara itu, Qs Yasin [36] ayat 39 menyebutkan bahwa satu siklus peredaran bulan dihabiskan melalui manzilah-manzilah yang dimulai dari keadaan ‘urjūn al-qadīm hingga kembali kepada ‘urjūn al-qadīm berikutnya. Manzilah-manzilah (konstelasi) ini tidak lain adalah posisi bulan pada saat-saat tertentu terhadap matahari dan bumi. Perubahan posisi bulan terhadap bumi dan matahari inilah yang menyebabkan adanya perubahan bentuk semu bulan, di mana perubahan bentuk semu bulan itu dapat diperhitungkan dan dijadikan dasar penentuan waktu bagi manusia.

Secara astronomis, ‘urjūn al-qadīm adalah terjadinya konjungsi, yaitu ketika bulan dan matahari berada pada garis bujur yang sama sebagai tanda telah sempurnanya peredaran bulan mengelilingi bumi. Dalam faktanya, konjungsi atau proses ‘urjūn al-qadīm hingga ‘urjūn al-qadīm ini dapat diperhitungkan (hisab) secara teliti. Dari keterangan ini dapat disimpulkan bahwa penetapan awal bulan secara hisab harus dipastikan konjungsi sudah terjadi, di samping menempatkan matahari pada posisi terbenam sebagai patokan pergantian hari serta posisi bulan sudah berada di atas ufuk.

Gerak faktual bulan dan matahari bersifat eksak
Allah menciptakan benda-benda angkasa sangat teratur, dan benda-benda angkasa ini bersifat eksak (Qs Yunus [10]: 5 dan Qs Al-Isra’ [17]: 12). Melalui observasi dan penelaahan ilmiah manusia mampu mengamati fenomena bulan dan matahari, dan akhirnya sampai pada kesimpulan ‘pasti’. Ilmu yang berperan adalah astronomi yang dalam perjalanannya terus berkembang.

Frasa “faqdurū lahu” bermakna “fahsibū lahu
Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan Ibn Umar terdapat frasa “faqdurū lahu” (maka kadarkanlah). Dari beberapa penafsiran yang ada, salah satunya adalah “fahsibū lahu” (maka lakukanlah perhitungan). Penafsiran seperti ini antara lain dipegangi oleh Mutharrif bin Abdillah asy-Syikhr (w. 78/697), Ibn Suraij (w. 306/918), dan Ibn Qutaibah (w. 276/889). Hadits riwayat Ibn Umar ini senafas dengan pertanyaan para sahabat tentang berapa lama Dajjal hidup di permukaan bumi ini. Nabi saw menjawab 40 hari, dimana satu hari seperti satu tahun, hari selanjutnya seperti satu bulan, hari selanjutnya lagi seperti satu minggu, dan hari-hari lainnya seperti hari biasa. Lantas para sahabat menanyakan apabila satu hari seperti satu tahun, bolehkah mengerjakan shalat hanya satu hari saja? Nabi saw menjawab, tidak! Tapi lakukanlah pengkadaran (uqdurū lahu qadrahu). “Uqdurū lahu” (takdirkanlah) dalam Hadits ini dapat difahami sebagai penggunaan hisab. Penafsiran ini didukung lagi dengan semangat ayat-ayat dalam Qs Yunus [10]: 5, Qs Yasin [40]: 39-40, dan Qs Ar-Rahman [55]: 5.

Ru’yah (melihat) dapat bermakna melihat dengan ilmu (ru’yah bi al-ilm)
Betapapun kata “ra’a” atau “ru’yah” dalam Hadits-Hadits Nabi saw terkait rukyat bermakna melihat dengan mata (ru’yah bi al-‘ain). Namun pengertian “ru’yah” itu sendiri secara bahasa dapat pula bermakna melihat secara ilmiah (ilmu). Dalam “Mu’jam Maqāyīs al-Lughah” disebutkan, “ru’yah” adalah melihat dengan mata atau dengan pengetahuan (ilmu).

Kemampuan hisab di zaman Nabi Saw masih terbatas
Hadits yang menerangkan keummīan Nabi Saw dan bangsa Arab sejatinya memberi pengertian bahwa bilangan bulan itu adakalanya 29 hari dan adakalanya 30 hari. Informasi Nabi Saw bahwa ‘kita’ tidak menghitung dan tidak menulis dipahami sekedar memberi gambaran umum kondisi bangsa Arab atau umat ketika itu. Al-Baladzirī (w. 279/892) dalam “Futūh al-Buldān” menyatakan, ketika Islam datang, di kalangan suku Quraisy hanya ada 17 orang yang bisa menulis. Menurut Ibrahim Anis, jika suku Quraisy yang sedemikian maju dalam kegiatan bisnis dan mempunyai kekuasaan tinggi di kalangan bangsa Arab demikian keadaannya, sudah tentu yang lainnya tidak lebih baik. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa bangsa Arab ketika itu tidak mengetahui secara ilmiah dan eksak peredaran faktual bulan dan matahari serta bendabenda langit lainnya.

Sifat ‘ummi’ saat ini telah tiada
Sifat ummī (tidak mampu mengitung dan menulis) yang melekat pada Nabi Saw dan bangsa Arab, dalam konteks hari ini sesungguhnya telah tiada, dalam arti umat Islam telah mahir dalam baca tulis dan perhitungan. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa rukyat bukan kriteria mutlak untuk memastikan masuknya sebuah awal bulan. Dalam kaidah usul disebutkan “al-hukm yadūru ma’a ‘illatihi wujūdan wa ‘adaman” (hukum itu berlaku bersama sebabnya, baik dalam keadaan ada atau tidak ada). Bahkan, Hadits “ummī” difahami sebagai isyarat kuat bahwa penentuan awal bulan adalah dengan hisab. Namun karena hal ini tidak mungkin diterapkan di masa Nabi Saw, maka dilakukanlah untuk sementara sarana rukyat. Karena itulah dalam Hadits ini Nabi Saw mengaitkannya dengan menulis dan menghitung. Jika menulis dan menghitung dilarang, niscaya Nabi Saw mengungkapkan rukyat saja tanpa mengaitkan dengan baca tulis dan hitung.

Rukyat hanya sarana, bukan tata cara mutlak
Mengenai hal ini memang terjadi perbedaan pendapat. Rukyat bukan merupakan bagian dari ibadah puasa, rukyat hanya bagian dari cara teknis untuk menentukan masuknya awal bulan. Sebuah kaidah fikih menyebutkan “al-wasā’il lahā ahkām al-maqāshid”. Jika ditemukan cara yang lebih baik, maka cara itulah yang digunakan. Semangat Hadits adalah masuknya awal bulan, bukan terlihat atau melihat bulan.

Hisab bersifat pasti (qath’iy dan yaqīn)
Sisi kepastian (qath’ī, yaqīn) yang dimaksud adalah bahwa fenomena alam seperti terbit dan tebenam benda-benda langit dibuktikan secara empirik dan terbukti benar. Hisab memang pernah tidak qath’ī (keakuratannya belum presisi), ini berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Di zaman silam, hisab banyak digunakan pada hal-hal yang bersifat mitos dan mistis, utamanya terkait dengan praktik peramalan (nujum, astrologi). Namun hari ini antara astrologi dan astronomi telah terbedakan secara jelas dan tegas, di samping tingkat akurasinya telah teruji. Abdul Karim Ali dalam karyanya “alMuhadzdzab fī ‘Ilm Ushūl al-Fiqh al-Muqāran” secara tegas menyebutkan bahwa ilmu-ilmu eksperimental (at-tajrībiyyāt) sebagai sesuatu yang mengindikasikan yakin (pasti).

Hisab dipandang sebagai “mashlahah al-mursalah”
“Al-mashlahah” jamaknya “al-mashālih”, sinonim dari kata “manfa’ah” (manfaat) dan lawan kata dari “mafsadah” (kerusakan). Dalam kajian usul fikih, “mashlahah almursalah” adalah kebaikan (manfaat) yang tidak ditemukan petunjuk tentangnya apakah syarak mengindahkannya atau mengabaikannya. Di sini, menggunakan hisab dalam menetapkan masuknya awal bulan dipandang sebagai “mashlahah al-mursalah” karena signifikansi manfaat yang didapat. Sisi mashlahah hisab antara lain: mudah, ringkas, praktis, akurat, dan hemat.

Hisab dipandang sebagai “mashlahah al-mursalah”
“Al-mashlahah” jamaknya “al-mashālih”, sinonim dari kata “manfa’ah” (manfaat) dan lawan kata dari “mafsadah” (kerusakan). Dalam kajian usul fikih, “mashlahah almursalah” adalah kebaikan (manfaat) yang tidak ditemukan petunjuk tentangnya apakah syarak mengindahkannya atau mengabaikannya. Di sini, menggunakan hisab dalam menetapkan masuknya awal bulan dipandang sebagai “mashlahah al-mursalah” karena signifikansi manfaat yang didapat. Sisi mashlahah hisab antara lain: mudah, ringkas, praktis, akurat, dan hemat.


Sumber: Suara Muhammadiyah

PENGERTIAN RAMADAN, SEJARAH, DAN AKTIVITAS YANG MEMULIAKANNYA


Pengertian Ramadan biasa dicari sebagai bentuk pemahaman mengenai bulan suci Ramadan. Sukacita selalu menyertai datangnya bulan Suci Ramadan. Bulan penuh berkah ini selalu dimaknai dengan sejuta kemuliaan di dalamnya.

Di bulan Ramadan, umat Islam menjalani puasa selama kurang lebih 29-30 hari. Sebagai umat Islam yang baik, pengertian Ramadan pastinya tak boleh terlewatkan.

Pengertian Ramadan amat erat kaitannya dengan puasa Ramadan. Namun, pengertian Ramadan rupanya lebih luas dari hanya sekadar menjalankan ibadah puasa.

Di bulan ini, pahala akan dilipat gandakan dan doa-doa akan dikabulkan. Maka dari itu, memperbanyak amal dan ibadah sangatlah baik di bulan penuh berkah ini. Namun, alangkah lebih baiknya jika kamu memahami pengertian Ramadan yang sesungguhnya. Dengan begitu, kemuliaan akan lebih mudah dinikmati pada bulan ini.

Nah, jika kamu ingin lebih memahami esensi Ramadan, berikut pengertian Ramadan dan sejarahnya yang berhasil kita rangkum dari berbagai sumber.

Pengertian Ramadan

Pengertian Ramadan merupakan bulan kesembilan dalam kalender Islam. Ramadan dirayakan oleh umat Muslim di seluruh dunia dengan puasa dan memperingati turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW.

Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dijalankan. Bulan Ramadan biasanya berlangsung selama 29–30 hari berdasarkan pengamatan hilal dan menurut beberapa aturan yang tertulis dalam hadits.

Kata Ramadan berasal dari akar kata bahasa Arab ramiḍa atau ar-ramaḍ, yang berarti panas yang menghanguskan atau kekeringan. Bangsa Babilonia yang budayanya pernah sangat dominan di utara Jazirah Arab menggunakan penghitungan tahun berdasarkan bulan dan matahari sekaligus. Bulan kesembilan, yaitu bulan Ramadan selalu jatuh pada musim panas yang sangat menyengat.

Namun, setelah umat Islam mengembangkan kalender berbasis bulan, yang rata-rata 11 hari lebih pendek dari kalender berbasis Matahari, bulan Ramadan tak lagi selalu bertepatan dengan musim panas. Orang lebih memahami 'panas'nya Ramadan secara kiasan.

Kiasan ini merujuk pada hari-hari dimana orang berpuasa, tenggorokan terasa panas karena kehausan. Diharapkan dengan ibadah-ibadah Ramadan maka dosa-dosa terdahulu menjadi hangus terbakar dan orang yang berpuasa tak lagi berdosa. Bulan Ramadan diawali dengan penentuan bulan sabit sebagai pertanda bulan baru.

Keistimewaan bulan Ramadan bagi pemeluk agama Islam tergambar pada Alquran pada surah Al-Baqarah ayat 183 yang berbunyi:

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa."- (Al-Baqarah 2: 183).


Dipercaya bahwa Alquran pertama kali diwahyukan kepada Muhammad selama bulan Ramadan yang telah disebut sebagai "masa terbaik". Wahyu pertama diturunkan di malam Lailatul Qadar yang merupakan salah satu dari lima malam dalam sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.

Menurut hadis, semua kitab suci seperti Shuhuf Ibrahim, Taurat, Mazmur, Injil dan Alquran diturunkan masing-masing pada tanggal 1, 6, 12, 13 dan 24 Ramadan.

Di dalam Alquran, puasa juga wajib bagi agama-agama sebelum Islam, dan merupakan cara untuk mencapai taqwa pada Tuhan. Akhir dari bulan Ramadan dirayakan dengan sukacita oleh seluruh muslim di seluruh dunia.

Pada malam harinya (malam 1 Syawal), yang biasa disebut malam kemenangan, umat Muslim akan mengumandangkan takbir bersama-sama.

Puasa Ramadan hukumnya merupakan fardhu (wajib) untuk Muslim dewasa. Puasa Ramadan dapat tidak dilakukan jika seseorang mengalami halangan untuk melakukannya seperti sakit, dalam perjalanan, sudah tua, hamil, menyusui, atau menstruasi.

Keputusan untuk menjalani ibadah puasa selama bulan Ramadan diturunkan 18 bulan setelah Hijrah, yaitu pada bulan Sya'ban pada tahun kedua Hijrah pada tahun 624 Masehi.

Puasa adalah kegiatan menahan lapar dan haus serta hawa nafsu mulai dar terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Sebelum berpuasa, umat Islam dianjurkan untuk makan sahur. Sahur adalah sebuah istilah Islam yang merujuk kepada aktivitas makan yang dilakukan pada dini hari bagi yang akan menjalankan ibadah puasa.

Setelah memasuki waktu matahari terbenam, umat Islam dapat berbuka dalam sebuah iftar. Iftar mengacu pada sebuah perjamuan saat Muslim berbuka puasa selama bulan Ramadan. Iftar adalah salah satu ibadah di bulan Ramadan dan sering dilakukan oleh sebuah komunitas, dan orang-orang berkumpul untuk berbuka puasa bersama-sama.

Di malam Ramadan, umat Muslim juga dianjurkan untuk melakukan ibadah shalat malam atau yang biasa disebut dengan shalat Tarawih. Shalat Tarawih dilakukan usai shalat isya dan dapat dilakukan secara sendiri atau berjamaah.

Aktivitas Bulan Ramadan selain Berpuasa

Membaca Alquran
Sebagai tambahan amalan dalam berpuasa, kebanyakan umat Muslim mengisi waktu sebelum berbuka puasa dengan membaca Alquran dengan kadar setiap hari satu juz. Biasanya dibacakan secara khusus dengan berkelompok atau perseorangan, namun ada juga yang menyelesaikan 30 Juz melalui pembacaan surah pada Salat Tarawih.

Umrah
Ibadah umrah jika dilakukan pada bulan ini mempunyai nilai dan pahala yang lebih bila dibandingkan dengan bulan yang lain. Dalam Hadis dikatakan "Umrah di bulan Ramadan sebanding dengan haji atau haji bersamaku." (HR: Bukhari dan Muslim).

Zakat fitrah
Zakat fitrah adalah zakat yang dikeluarkan khusus pada bulan Ramadan atau paling lambat sebelum selesainya salat Idul Fitri. Setiap individu muslim yang berkemampuan wajib membayar zakat jenis ini. Besarnya zakat fitrah yang harus dikeluarkan per individu adalah satu sha' makanan pokok di daerah bersangkutan. Jumlah ini bila dikonversikan kira-kira setara dengan 2,5 kilogram atau 3,5 liter beras.

Penerima Zakat secara umum ditetapkan dalam 8 golongan yaitu fakir, miskin, amil, muallaf, hamba sahaya, gharimin, fisabilillah, ibnu sabil. Namun, menurut beberapa ulama khusus untuk zakat fitrah mesti didahulukan kepada dua golongan pertama yakni fakir dan miskin.


Sumber: liputan6

Monday, 29 April 2019

TAFSIR KIAI DAHLAN


Kiai Haji Ahmad Dahlan setiap subuh memberikan pengajaran pada murid-muridnya. Pada satu periode pengajarannya, berkali-kali KH Ahmad Dahlan mengajarkan tafsir surat Al-Ma’un, hingga berhari-hari tidak ditambah-tambah. Dengan kondisi seperti itu, ternyata mengusik hati salah seorang muridnya.

“Kiai, mengapa pelajarannya tidak ditambah-tambah?” tanya Soedja.

“Apa kamu sudah mengerti betul?” tanya beliau.

“Kita sudah hafal semua, Kiai.” Jawab Soedja.

“Kalau sudah hafal, apa sudah kamu kerjakan?” tanya beliau lagi.

“Apanya yang diamalkan? Bukankah surat Al-Maun sudah berulangkali kami baca sebagai rangkaian surat Fatihah, disaat kami shalat?” jawab Soedja’.

“Bukan itu yang saya maksudkan, Diamalkan artinya, dipraktekkan, dikerjakan. Rupanya saudara-saudara belum mengamalkannya. Oleh karena itu mulai hari ini, saudara-saudara pergi berkeliling mencari orang miskin. Kalau sudah dapat, bawa mereka pulang ke rumah masing-masing. Mandikan dengan sabun yang baik, beri mereka pakaian yang bersih, berilah makan dan minum, serta tempat tidur di rumahmu. Sekarang juga pengajian saya tutup. Dan saudara-saudara silahkan melakukan petunjuk-petunjuk saya tadi,” ujar Kiai Dahlan.

Berbagai versi tentang cerita ini telah menyebar, intinya Al-Qur’an itu setelah dibaca dan dipelajari harus diamalkan. Maka penafsiran model Kiai Dahlan, penulis sebut dengan tafsir amali. Mungkin ada yang menyebut tafsir sosial atau yang lain, tetapi ternyata metode serupa juga digunakan untuk ayat yang lain.

Dalam hal metode ini, Kiai Dahlan pernah menerangkan bagaimana cara mempelajari Al-Qur’an, yaitu ambillah satu, dua atau tiga ayat, dibaca dengan tartil dan tadabbur (dipikirkan). Pertama, bagaimana artinya? Kedua, bagaimanakah tafsir keterangannya? Ketiga, bagaimana maksudnya? Keempat, apakah ini larangan dan apakah kamu sudah meninggalkan larangan itu? Kelima, apakah ini perintah yang wajib dikerjakan? Sudahkah kita menjalankannya.

Oleh karena itu sudah menjadi watak Kiai ketika mengajarkan sesuatu , terutama Al Qur’an, tidak hanya berhenti pada tataran ilmu saja tetapi harus mencapai tataran amal. Karenanya, ia tak segan mengajarkan suatu ayat sampai berbulan-bulan meski sebetulnya hanya cukup beberapa hari selesai sebelum ayat tersebut diamalkan.

Baginya Islam memang harus diamalkan dan tidak hanya dimengerti saja. Dalam hal amalan agama ini Kiai Dahlan berkata: “Aku mengerti barang yang haq dan barang bathil seperti aku mengerti agama Nasrani/Kristen dan belajar agama Nasrani dan mengerti agama Nasrani. Tetapi apabila aku tidak mengerjakan agama Nasrani aku bukan orang Nasrani. Demikian juga umpamanya aku mengerti cara-cara mencuri, menipu, menindas tetapi aku tidak menjalankan mencuri, menipu atau menindas maka aku bukan pencuri, penipu dan penindas. Demikian juga aku mengenal agama Islam, mengerti amal shalih, tetapi aku tidak mengerjakan agama Islam dan amal shalih itu, aku tetap bukan orang Islam dan tetap bukan orang shalih”.

Inilah sebetulnya tafsir awal yang dilakukan Muhammadiyah oleh pendirinya yang mampu menghasilkan amal usaha yang kini masih terjaga. Tetapi sayang, metode tafsirnya sudah hampir terlupakan.

Sumber: Suara Muhammadiyah